Minggu, 08 November 2009

HOW ART LIVES @ FKY XXI


20-27 Juni 2009
Museum Benteng Vredeburg

Image and video hosting by TinyPic

Struggle for Existence, teori masyhur Charles Darwin tersebut sedikit banyak mampu menggambarkan kondisi Seni Wayang kita. Seperti yang disampaikan oleh keempat seniman wayang pada pembukaan pameran “How Art Lives” di gelaran Festival Kesenian Yogyakarta XXI pada Sabtu, 20 Juni lalu. Para seniman wayang tersebut membeberkan perjuangan sekaligus kegetiran mereka dalam melestarikan seni pembuatan wayang yang menurut mereka sangat jauh dari nilai profit.

Image and video hosting by TinyPic
Image and video hosting by TinyPic

Meski pameran kali ini tak hanya melulu menampilkan kesenian wayang, berbagai seni instalasi, patung, dan lukisan juga ditampilkan sebagai bagian integral dari masyarakat. Pameran ini juga mengadvokasi kembali, kemandirian masyarakat dalam menghidupkan kembali hasil-hasil seni yang sempat hidup dalam masyarakt setempat. Seni rupa dianggap sebagai representasi konteks sosial yang saat ini dikuasai oleh hegemoni budaya barat.

Image and video hosting by TinyPic

Meski sempat menuai kritik karena penyelenggaraannya yang agak melenceng dari konsep semula, Festival Kesenian Yogyakarta XXI masih menunjukkan tajinya, diukur dari antusiasme pengunjung yang datang dari tiap sudut kota maupun luar. Meski hal tersebut belum bisa dijadikan parameter akan kualitas, namun dengan hadirnya pameran How Art Lives kali ini, seni rupa di Jogjakarta pada khususnya mampu menunjukkan identitas dan geliat seni yang kritis dan bergairah.

Dari 400 karya yang masuk, 121 diantaranya berhak tampil diajang pameran ini. Seniman baik senior maupun muda “bergelut” dengan berbagai media ekspresi. Kuil Dairin, sebuah studio kecil di pinggir kota Jogja membawa jargon “seni lukis untuk semua”, dengan menampilkan sesudut studionya dalam sebuah karya instalasi. Studio ini menjadi magnet berkumpulnya anak-anak muda Jogja yang gelisah dan melek seni. Salah seorang seniman muda berbakat Farid Stevy Asta menampilkan identitasnya dalam aksentuasi tokoh seorang rockstar. Lain lagi dengan Cangkang Serigala yang menampilkan karya instalasi berupa foto-foto lengkap dengan pigura yang menyatakan identitasnya sebagai remaja thrash metal. Tiap foto bercerita tentang sepak terjang mereka lengkap dengan berbagai manusia pendukungnya.

Image and video hosting by TinyPic
Image and video hosting by TinyPic

Para seniman yang tergabung dalam pameran kali ini memang mencoba untuk merangkum konteks sosial maupun jaman dalam melakukan penjelajahan atas bentuk visualisasi masa lalu. Tradisi ornamen klasik menjadi bagian yang dieksplorasi dan tetap relevan dengan kondisi masyarakat kontemporer masa kini. Sehingga definisi seni rupa itu tetap terjaga maknanya terlepas dari kemauan pasar dan nilai nominal.

(teks: Adi Renaldi, photos: Bagus Sinang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar